Jumat, 08 Maret 2013

Menyebut Indonesia Negara Demokrasi Berarti Termakan Opini Kaum Sekuler

Jakarta (SI ONLINE) - Indonesia ini negara apa?. Disebut negara Islam bukan, negara kafir juga bukan. Apakah Indonesia ini negara bukan-bukan?.

"Persoalan ini kelihatannya sederhana, tetapi di dalamnya mengandung persoalan serius," kata Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab saat mengawali perbincangan dalam peluncuran buku terbarunya "Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah" di Istora, Senayan, Jakarta, Kamis sore (7/3/2013).

Menurut Habib Rizieq, klasifikasi negara hanya ada dua. Jika bukan negara Islam berarti negara kafir, jika bukan negara agama berarti sekuler, jika bukan negara musyawarah berarti negara agama, jika bukan negara halal berarti neara hara.

Untuk menjawab persoalan ini, kata Habib, haruslah dengan menggunakan metodologi yang benar. Dengan meneliti dasar historis bagaimana negara ini lahir dan harus mempelajari dasar konstitusi yang disepakati para pendiri bangsa ini.

"Jangan sekali-kali menarik kesimpulan menurut opini. Kalau menurut opini, kelompok liberal telah sukses mengopinikan bahwa negara ini negara sekuler, bukan negara agama," kata Habib.

Sayangnya, lanjut Habib, kesuksesan kelompok liberal dalam mengkapanyekan negara ini sebagai negara demokrasi secara tidak sadar juga didukung oleh umat Islam. Mereka mengamini ketika negara ini disebut sebagai negara demokrasi.

"Opini ini, sehebat apapun tidak boleh mempengaruhi kesimpulan kita. Buktikan berdasarkan dasar historis dan konstitusi," ungkapnya.

Senin, 04 Februari 2013

Hadirilah Bedah Buku ''Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah'' Karya Habib Rizieq Syihab

Hadirilah Bedah Buku Monumental "Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah" Karya Habib Rizieq Syihab

Pembicara:
1. Habib Rizieq Syihab (Penulis Buku)*
2. Prof. Dr. Hamdan Zoelva SH, MH (Hakim Mahkamah Konstitusi)
3. KH. Muhammad al Khaththath (Sekjen FUI)
4. Habib Muhsin Al Attas (FPI)
5. Syarifin Maloko SH, MSi, MM (Mubaligh, Anggota DPR DKI 2004-2009)

Host: H. Masrur Anhar (Ketua Umum Da'ina)

Ahad, 10 Februari 2013, jam 09.00 Wib - Dzuhur
Tempat: Aula Masjid Baiturrahman, Jl. Dr. Saharjo No.100, Menteng Atas, Jakarta Selatan


Informasi:
0813 1816 7760

Penyelenggara:
Da'ina (Dapur Da'i Nusantara) dan Masjid Baiturrahman



Rabu, 29 Agustus 2012

AYAT SUCI DI ATAS AYAT KONSTITUSI: Menjawab Keresahan Warga Solo dan Jakarta

Ikhwan Aktivis Islam Solo resah dan khawatir, karena jika Wali Kota Solo menang dan jadi Gubernur Jakarta, maka Wakilnya di Solo yang non muslim otomatis jadi Walikota Solo. Sementara Aktivis Islam Jakarta juga resah, karena jika Wali Kota Solo tersebut menang dan jadi Gubernur Jakarta, wakil yang mendampinginya pun non muslim, sehingga andai terjadi sesuatu terhadapnya saat menjadi Gubernur Jakarta, maka otomatis wakilnya yang non muslim itu pun akan jadi Gubernur Jakarta.
Kekhawatiran seperti tersebut di atas tidak pernah terjadi di zaman Orde Lama mau pun Orde Baru, karena rezim yang berkuasa ketika itu senantiasa memperhatikan asas proporsional, sehingga seseorang tidak akan menjadi pemimpin di suatu daerah kecuali jika seagama dengan agama mayoritas di daerah tersebut. Hal demikian bukan diskriminatif dan tidak pula melanggar SARA, melainkan untuk menjaga kestabilan sosial politik masyarakat di daerah bersangkutan agar tercipta ketenangan dan keamanan.
Jadi, kekhawatiran semacam itu tidak perlu terjadi jika partai politik yang mencalonkan memiliki sikap proporsionalisme yang tinggi. Dan kekhawatiran semacam itu pun tidak akan meluas jika para pemilih dari umat Islam tidak awam soal agamanya. Faktanya, banyak partai politik yang egois di tengah umat Islam yang awam, ditambah dengan adanya kelompok oportunis yang menjual agama untuk kepentingan dunia mereka.
Karenanya, segenap umat Islam wajib diberitahukan dan diingatkan tentang kewajiban memilih pemimpin muslim. Sampaikan kepada seluruh pemilih muslim di mana pun mereka berada bahwa WAJIB MEMILIH PEMIMPIN MUSLIM dan HARAM MEMILIH PEMIMPIN KAFIR. Inilah sikap setiap Aktivis Islam yang juga harus menjadi sikap setiap muslim. Ini bukan melanggar SARA, justru menjaga keharmonisan hubungan SARA agar tidak terjadi PELANGGARAN SYARIAT ISLAM.
Ironisnya, sikap tegas bersyariat dalam soal Pilkada dituduh sebagai pelanggaran SARA. Pelakunya dipanggil dan diperiksa Panwaslu dan dihakimi Media Massa secara gegap gempita. Jika sikap tegas bersyariat ini difitnah sebagai pelanggaran SARA, lalu bagaimana dengan Cagub - Cawagub yang saat kampanye pernah menyatakan : AYAT SUCI NO ! AYAT KONSTITUSI YES ! Ini jelas-jelas melanggar SARA, bahkan menghina AGAMA dengan merendahkan AYAT SUCI. Kenapa dibiarkan oleh Panwaslu ?! Kenapa tidak diblow-up beritanya oleh Media ?!
Bagi umat Islam : Ayat Suci di atas Ayat Konstitusi adalah HARGA MATI. Siapa menentang Ayat Suci berarti dia musuh agama. Umat Islam siap setia kepada Ayat Konstitusi selama tidak bertentangan dengan Ayat Suci.
Ingat, Islam melarang keras umatnya menghina agama mana pun, apalagi mengganggu umatnya yang tidak menggangu umat Islam. Islam juga membolehkan umatnya berbuat baik dan bekerja-sama dengan umat agama mana pun selama tidak melanggar syariat. Tapi Islam juga menolak keras pencampur-adukan agama dan kawin beda agama serta mengangkat orang non Islam sebagai pemimpin bagi umat Islam.
Menjadikan orang kafir sebagai pemimpin bagi umat Islam berarti menentang Allah SWT dan Rasulullah SAW serta Ijma' Ulama. Memilih orang kafir sebagai pemimpin umat Islam berarti memberi peluang kepada orang kafir untuk "mengerjai" umat Islam dengan kekuasaan dan kewenangannya. Memberi kepemimpinan umat Islam kepada orang kafir berarti kemunafikan, kefasikan, kezaliman dan kesesatan serta masuk dalam azab Allah SWT berdasarkan ayat-ayat Al-Qur'an.
Ayo berjihad sebelum terlambat ! Ayo berjuang sebelum hilang ! Ayo bersiap sebelum lenyap !
Ayo..., selamatkan umat Islam dari kemunkaran politik !
Ayo..., pilih pasangan Cagub - Cawagub yang muslim - muslim, tidak lainnya !!!!
Allahu Akbar ! Allahu Akbar ! Allahu Akbar !
Jakarta, 21 Ramadhan 1433 H/ 9 Agustus 2012 M
DPP-Front Pembela Islam (FPI)

DALIL QUR'ANI WAJIB MEMILIH PEMIMPIN MUSLIM, HARAM MEMILIH PEMIMPIN KAFIR

Berikut ini adalah sejumlah Dalil Qur'ani beserta Terjemah Qur'an Surat (TQS) yang menjadi dasar untuk bersikap dalam memilih pemimpin :

1.  Al-Qur'an melarang menjadikan orang kafir sebagai PEMIMPIN :

TQS. 3. Aali 'Imraan : 28.

"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara  diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu)."

TQS. 4. An-Nisaa' : 144.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu) ?"


TQS. 5. Al-Maa-idah : 57.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi PEMIMPINMU, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman."


2.  Al-Qur'an melarang menjadikan orang kafir sebagai PEMIMPIN walau KERABAT sendiri :

      TQS. 9. At-Taubah : 23.

"Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan BAPAK-BAPAK dan SAUDARA-SAUDARAMU menjadi WALI (PEMIMPIN / PELINDUNG) jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan, dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim."

      TQS. 58. Al-Mujaadilah : 22.

"Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling  berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekali pun orang-orang itu BAPAK-BAPAK, atau ANAK-ANAK atau SAUDARA-SAUDARA atau pun KELUARGA mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada- Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun merasa  puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa  sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung."


3. Al-Qur'an melarang menjadikan orang kafir sebagai TEMAN SETIA :

      TQS. 3. Aali 'Imraan : 118.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi TEMAN  KEPERCAYAANMU orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang  disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya."


      TQS. 9. At-Taubah : 16.

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan sedang Allah belum mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi TEMAN SETIA selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman ? Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."


4. Al-Qur'an melarang SALING TOLONG dengan kafir yang akan MERUGIKAN umat Islam :

      TQS. 28. Al-Qashash : 86.

"Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Quran diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu, sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi PENOLONG bagi orang-orang kafir."


TQS. 60. Al-Mumtahanah : 13.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan PENOLONGMU kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa."

5. Al-Qur'an melarang MENTAATI orang kafir untuk MENGUASAI muslim :

       TQS. 3. Aali 'Imraan : 149-150.

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu MENTAATI orang-orang yang KAFIR itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi. Tetapi (ikutilah Allah), Allah lah Pelindungmu, dan Dialah sebaik-baik Penolong."

6. Al-Qur'an melarang beri PELUANG kepada orang kafir sehingga MENGUASAI muslim :

       TQS. 4. An-Nisaa' : 141.

"...... dan Allah sekali-kali tidak akan MEMBERI JALAN kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman."

7. Al-Qur'an memvonis MUNAFIQ kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :

       TQS. 4. An-Nisaa' : 138-139.

"Kabarkanlah kepada orang-orang MUNAFIQ bahwa mereka akan mendapat siksaan  yang pedih. (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu ? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah."

8. Al-Qur'an memvonis ZALIM kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :

       TQS. 5. Al-Maa-idah : 51.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak  memberi petunjuk kepada orang-orang yang ZALIM."


9. Al-Qur'an memvonis FASIQ kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :

       TQS. 5. Al-Maa-idah : 80-81.

"Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang FASIQ."

10. Al-Qur'an memvonis SESAT kepada muslim yang menjadikan kafir sebagai pemimpin :

       TQS. 60. Al-Mumtahanah : 1.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu     karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu  nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah TERSESAT dari jalan yang lurus."


11. Al-Qur'an mengancam AZAB bagi yang jadikan kafir sbg Pemimpin / Teman Setia :

       TQS. 58.  Al-Mujaadilah : 14-15.

"Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman ? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka AZAB yang sangat  keras, sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan."

12. Al-Qur'an mengajarkan doa agar muslim tidak menjadi SASARAN FITNAH orang kafir :

       TQS. 60. Al-Mumtahanah : 5.

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (SASARAN) FITNAH bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

Khutbah Idul Fitri 1433 H : Saatnya Wujudkan NKRI Bersyariah

Saatnya Wujudkan NKRI Bersyariah untuk Selamatkan Indonesia

بسم الله الرحمن الرحيم

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 الله أكبر… الله أكبر… الله أكبر 3x
الله أكبر كبيرا و الحمد لله كثيرا و سبحان الله بكرة و أصيلا
لآإله إلا الله و لا نعبد إلا إياه مخلصين له الدين ولو كره الكافرون
لآإله إلا الله وحده صدق وعده و نصر عبده و أعز جنده و هزم الأحزاب وحده
لآإله إلا الله الله أكبر الله أكبر و لله الحمد
الحمد لله الذي جعل الإسلام دينا كاملا ومرضيا لإمة سيدنا محمد وبه تكون هذه الأمة خير امة من الامم , كقوله تعالى فى كتابه العزيز:
" كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ"
والصلاة والسلام على سيد المرسلين ، وإمام المتقين وعلى آله وصحبه ، ومن دعا بدعوته ، والتزم بطريقته ، وجعل العقيدة الإسلامية أساسا لفكرته ، والأحكام الشرعية مقياساً لأعماله ، ومصدراً لأحكامه وَمَنْ جاَهَدَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ حَقَّ جِهاَدِه ومن تبعهم بإحسان.
اَمَّا بَعْدُ,
فياأَيُّهَا النَّاسُ، إِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقاَتِهِ وَلاَتَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

Allahu akbar (3X) walillahil hamd...
Kaum muslimin rahimakumullah,


Alhamdulillah pada hari ini satu Syawal 1433 H umat Islam di seluruh permukaan bumi merayakan hari raya Idul Fitri, kembali berbuka, kembali kepada fitrah, suci tanpa dosa, setelah sebulan kita melaksanakan kewajiban shaum Ramadhan, kewajiban imsak atau menahan diri dari makan dan minum serta berhubungan suami istri, yang merupakan latihan untuk memperbaiki hubungan kita dengan Allah SWT, agar kita senantiasa bisa koneksi secara stabil dengan-Nya setiap saat, di mana saja, kapan saja, dalam menilai dan mengatasi masalah apa saja, maupun ketika berhadapan dengan siapa saja. Agar kita secara nyata menjadi orang yang bertaqwa, yakni melaksanakan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. 

Semoga Allah SWT berkenan menerima ibadah shiyam kita, qiyam kita, tilawah kita, shadaqah kita dan berbagai aktivitas kebajikan kita lainnya dan berkenan membalasnya dengan kebaikan pahala dan ridlo-Nya. Dan semoga kita mendapatkan pahala ibadah dan kebaikan yang bertepatan dengan lailatul Qadar sehingga kita mendapatkan kebaikan yang banyak dan kita mendapatkan taqdir menjadi mukmin yang lebih baik, yang senantiasa menyadari bahwa keberadaan kita di dunia adalah semata-mata untuk beribadah kepada Allah SWT.

Sehingga kita sukses menjadi hamba-Nya yang senantiasa berpegang teguh dengan syariat Allah SWT dalam seluruh aspek kehidupan kita, baik dalam masalah aqidah dan ibadah, masalah akhlak, masalah makan dan minum, masalah berpakaian, maupun masalah hubungan kita dengan umat manusia dalam muamalah ekonomi, politik, sosial, maupun budaya, dan aspek-aspek kehidupan lainnya.

Allahu akbar (3X) walillahil hamd..
Kaum muslimin rahimakumullah,


Perayaan Iedul Fitri kita kali ini sangatlah istimewa, mengingat perayaan ini berbarengan dengan peringatan hari kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 yang pada waktu itu jatuh pada hari Jumat pada bulan Ramadhan. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia  yang muslim berkaitan erat dengan suasana Ramadhan pada waktu itu dan ajaran Islam menjadi nilai dasar dalam penyusunan konstitusi untuk Negara yang akan diproklamirkan mengakhiri era penjajahan yang telah tiga setengah abad melikuidasi pelaksanaan syariat Islam oleh Negara di masa para sultan di seluruh Nusantara. Oleh karena itu, di dalam suasana hari raya Idul Fitri ini dan suasana peringatan 67 tahun kemerdekaan, tepatlah kiranya kita umat Islam dan bangsa Indonesia merenungkan kembali  situasi dan kondisi sosial politik bangsa Indonesia, apakah betul-betul kita sebagai bangsa muslim yang merdeka secara hakiki ataukah malah masih terjajah oleh kekuatan kolonialisme dunia? Apakah kita sebagai umat Islam telah kaffah hidup secara Islami dan mendapatkan hak-hak sebagai pemilik Negara ini ataukah malah sebaliknya hak-hak konstitusional kita dikebiri? Apakah bangsa Indonesia benar-benar bertaqwa kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, ataukah malah menjadi bangsa yang durhaka dan maksiat kepada Allah SWT lantaran tunduk kepada tekanan ekonomi maupun politik internasional?  

Allahu akbar (3X) walillahil hamd..
Kaum muslimin rahimakumullah,

Kalau kita perhatikan, sejarah Indonesia sejak penjajahan Belanda dan Jepang serta kembalinya Belanda pasca kemerdekaan dipenuhi dengan derita rakyat bumi putra yang datang silih berganti tak kunjung henti. Kenapa itu terjadi? Sebab penjajahan hakikatnya adalah eksploitasi terhadap bangsa yang kalah oleh bangsa yang menang.  

Oleh karena itu, bila hari ini kita rakyat Indonesia merasakan adanya eksploitasi di negeri ini, itu artinya kita masih dijajah. Namun eksploitasi atau penjajahan hari ini tidak secara terang-terangan. Tapi bekerja melalui legalitas peraturan perundangan dan aktivitas mafia, baik itu mafia politik, mafia hukum, mafia jabatan, mafia ekonomi, hingga mafia narkoba.  

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah  


Ketika berbagai ketidakadilan mencuat, adanya eksploitasi dan penjajahan tersebut mulai terasa. Bagaimana bisa orang asing seperti ratu narkoba Corby yang jelas-jelas sangat membahayakan kehidupan bangsa mendapat grasi presiden lima tahun dan pada Idul Fitri hari ini mendapakan remisi enam bulan. Sementara Ustadz KH. Abu Bakar Ba’asyir yang tampak direkayasa terlibat dalam pelatihan militer di Aceh justru malah diperberat hukumannya. Di sisi lain latihan militer laskar kristus di Ambon bahkan aksi mereka yang sparatis, sekalipun rekaman videonya sudah disampaikan kepada otoritas pertahanan dan keamanan, tak disentuh. Pertanyaannya, kenapa mereka tidak disentuh? Apakah mereka warga Negara kelas satu sedangkan KH. Abu Bakar Ba’asyir warga Negara kelas dua?

Juga kasus nenek Minah yang hanya mengambil dua buah kakao dihukum, sementara mereka yang mengambil triliunan harta Negara melalui pengucuran dana Bank Century sampai hari ini aman-aman saja. Sejumlah anggota DPR dipenjara dengan tuduhan menerima suap untuk meloloskan pemilihan Deputi Gubernur BI Miranda S Gultom, tapi yang bersangkutan malah bebas berkeliaran walaupun belakangan akhirnya ditahan juga.  

Apalagi di tengah sulitnya rakyat membeli beras yang harganya melambung, pameran orang kaya baru (OKB) muda pemilik rekening miliaran rupiah hasil korupsi seperti Gayus Tambunan, Dhana Widiatmika, juga para selebritis parpol penguasa Senayan semacam Nazaruddin dan Anggelina Sondakh  dipamerkan TV tiap hari. Di tengah puluhan juta pengangguran dan ratusan juta rakyat pemilik sah negeri Indonesia yang hidup serba kurang dan miskin, ada 1 juta kaum minoritas kaya bermewah-mewah dengan penghasilan 200 juta hingga miliaran rupiah per bulan. Pantaslah kalau 50 ribu tiket konser artis porno pemuja setan dari Amrik, Lady  Gaga, berharga 450 ribu hingga 2,5 juta ludes terjual walau akhirnya batal karena ditolak kaum muslimin yang masih istiqomah mengawal akhlak bangsa.

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah, 


Di tengah himpitan derita hidup rakyat banyak, para pejabat berfoya-foya. Mereka bersama para politisi dan pengusaha menikmati berbagai keuntungan dari permainan system politik demokrasi dan  ekonomi liberal, menghabiskan kekayaan rakyat dan menambah jumlah beban utang Negara yang terus bertambah hingga 2000 triliun. Pemerintah rajin membayar cicilan utang dan bunganya  yang penuh dosa per tahun ratusan triliun. Pemerintah juga rajin menambah utang baru. Tahun ini Utang Luar Negeri 54 triliun dan Surat Utang negara (SUN) 134 triliun. Padahal tidak ada cerita bangsa yang telah terjerat utang ribawi bisa lepas dari jebakan utang. Mesir hancur dan miskin hingga terjajah setelah berdirinya Bank Inggris pertama kali di Mesir untuk membiayai proyek Terusan Suez pada tahun 1900. Demikian juga rezim kekhilafahan Turki Utsmani runtuh tahun 1924 di Istambul karena terjerat bank-bank milik Yahudi dari keluarga-keluarga Rothschilds, Cassel, Barings.

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah

 
Telah nyata rezim SBY dan rezim siapapun di era reformasi ini adalah rezim bunuh diri. Ibarat kapal Titanic, bakal menenggelamkan seluruh rakyat Indonesia ke dalam laut kebinasaan. Oleh karena itu, harus ada terobosan untuk mengganti rezim dan system kebijakan mengelola NKRI ini untuk menyelamatkan rakyat dan bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Maka tidak ada jalan selamat sebagai solusinya selain kembali kepada rezim dan system syariat Islam.

Sebab, Islam adalah agama sempurna (QS. Al Maidah 3). Islam adalah agama sekaligus ideologi. Islam bukan sekedar agama ritual, tapi juga agama politik yang mengatur dan menyelesaikan problem-problem kehidupan, baik itu problem ideologi, problem politik, problem ekonomi, problem sosial, problem budaya, maupun problem pertahanan dan keamanan.

Oleh karena itu, setelah kegagalan berbagai jenis ideologi, sistem dan rezim, yang diterapkan sejak Indonesia merdeka, kini saatnya rezim syariah, rezim ideology Islam, naik ke pentas kekuasaan NKRI untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa Indonesia secara formal dan konstitusional.  

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah

 
Kenapa harus rezim syariah?
Pertama, Islam mengajarkan setiap manusia apapun jabatan dan kebangsaannya serta berapapun kekayaannya adalah sama di hadapan Allah SWT. Kemuliaan hanyalah pada ketaqwaan (QS. Al Hujurat 13). Nabi Muhammad saw bersabda: Tidak ada kelebihan bangsa Arab terhadap non-Arab atau bangsa non-Arab terhadap Arab kecuali dengan taqwa (Al Hadits). 

Kedua, Islam membebaskan manusia dari penghambaan sesama manusia kepada penghambaan hanya kepada Allah SWT, Tuhan YME pencipta Manusia. Itulah  kalimat yang disampaikan tentara Islam kepada Panglima Rustum dari Persia, sebelum perang Qadissiyah yang mengakhiri imperium Persia. Khalifah Umar bin Al Khaththab r.a., penguasa Madinah yang kekuasaan dan keadilannya meruntuhkan adidaya Rumawi dan Persia, setelah menetapkan hukum Qishash kepada putra Gubernur Mesir Amr bin Ash, berkata: “Wahai Amr, sejak kapan engkau memperbudak manusia sedangkan ibu-ibu mereka melahirkan mereka dalam keadaan merdeka!”

Ketiga, Islam mewajibkan Negara mengelola sumber daya alam, tanpa menyerahkannya kepada swasta apalagi asing, untuk diberikan cuma-cuma kepada rakyat, diberikan dengan harga murah, atau diberikan dengan harga ekonomi namun keuntungannya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara boleh menjual minyak dan gas serta kekayaan alam lainnya kepada dunia internasional dengan harga mahal untuk membiayai pelayanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan rakyat memperoleh pendidikan unggul secara gratis, layanan kesehatan prima secara gratis, dan jaminan keamanan secara gratis, maka rakyat akan tumbuh menjadi manusia dengan  SDM unggulan. Sebab, kekayaan alam adalah nikmat Allah SWT untuk rakyat secara umum, bukan untuk sekelompok penguasa ekonomi dan politik antek imperialis. 

Keempat, Islam menghapus system riba (QS. Al Baqarah 275-279) dalam segala bentuknya yang pasti mengeksploitir rakyat banyak, membuat mereka miskin dan menderita. Islam juga mewajibkan Negara melakukan perimbangan ekonomi agar tidak terjadi gap yang lebar antara si miskin dan si kaya. Islam tidak melarang adanya orang kaya, bahkan menjelaskan keberadaan orang kaya untuk mempekerjakan yang miskin (QS. Az Zukhruf  32). Namun Islam melarang penumpukan harta, baik barang maupun uang (QS. At Taubah 34). Islam melarang harta itu hanya berputar-putar di antara orang kaya (QS. Al Hasyr 7). Rasulullah saw. sebagai kepala Negara di Kota Madinah melakukan perimbangan ekonomi dengan membagikan harta sitaan (fai’i) dari kaum Yahudi Bani Nadlir yang diusir dari Madinah hanya kepada kaum Muhajirin yang berjirah dari Mekkah ke Madinah tanpa membawa harta.  Orang Anshar yang pribumi Kota Madinah tidak diberi kecuali dua orang fakir miskin di antara mereka.  

Kelima, Islam mewajibkan Negara menyelesaikan seluruh perselisihan dan konflik di antara rakyat, dengan hukum syariat Allah SWT (QS. Al Maidah 49) dan menyelesaikan konflik rakyat dengan penguasa dengan merujuk Al Quran dan As Sunnah (QS. An Nisa 59). Untuk mengadili konflik rakyat dengan penguasa serta menghilangkan kezaliman penguasa dibuat mahkamah mazhalim yang diangkat dari ulama yang hanya takut kepada Allah SWT (QS. Fathir 28).  

Keenam, Islam mewajibkan Negara mengangkat para pejabat dari rakyat yang terbaik kecakapannya dan bertaqwa kepada Allah, bukan hasil membeli suara rakyat atau karena kesiapan membayar setoran kepada istana. Para pejabat selain diberi fasilitas, juga diberi nasihat dan batasan agar mereka menjalankan tugas dengan amanah dan tidak korupsi (QS. Ali Imran 161).   Dalam melayani masyarakat mereka wajib untuk memberi kemudahan dan tidak menyulitkan, menggemberikan rakyat bukan malah menakut-nakuti (Al Hadits).
   
Ketujuh,
Islam mewajibkan rakyat mengangkat kepala Negara yang mukmin (QS. An Nisa 59), bukan orang kafir atau agen dari kaum kafir imperialis semacam mafia Berckeley apalagi antek Yahudi Illuminati (QS. An Nisa 141); mengangkat pemimpin yang taat kepada Allah SWT dan bukan orang yang fasik dan zalim (QS. Huud 113); serta mengangkat pria hebat seperti Khalifah Umar bin Al Khaththatb r.a. atau Umar bin Abdul Aziz r.a. yang ahli dalam kepemimpinan dan pemecahan problematika lantaran kealimannya dalam hukum-hukum syariat, baik fiqh siyasah, fiqh muamalat, maupun fiqh jinayat.  

Dengan tujuh poin di atas, insyaallah Indonesia ada harapan diselamatkan dari serigala-serigala lapar yang selama ini memangsa umat Islam Indonesia yang terpecah-belah  bak domba-domba yang terpencar dari kumpulannya.  Dengan semangat perjuangan menegakkan syariat Allah dan didorong dengan keinginan luhur untuk berkehidupan bangsa Indonesia yang bermartabat, kita songsong naiknya rezim syariah di Indonesia, untuk mewujudkan NKRI bersyariah. Dengan NKRI Bersyariah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur insya Allah terlaksana!

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah  


Mungkin masih ada yang ragu atau khawatir atau bahkan ada suara minor dari segelintir antek penjajah terhadap gagasan naiknya rezim syariah, dengan alasan syariah dari Arab, bukan dari budaya bangsa Indonesia.  Maka kita jawab, perkataan mereka berlebihan. Mereka mempersoalkan syariah dari Arab, tapi mereka dengan enteng mengutip perkataan tokoh-tokoh demokrasi Eropa seperti Voltaire, Montesque, John Locke, dan lain-lain. Mereka menolak sistem syariah yang merupakan ajaran Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, sementara mereka antusias mengambil sistem sekularisme, liberalisme, sosialisme, dan bahkan komunisme yang dikarang oleh manusia-manusia yang kafir dan durhaka kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Apakah kita masih mentolerir sikap hipokrit dan arogan mereka? Lebih dari itu, apakah bisa diterima akal sehat kita, setelah 67 tahun kita merdeka dan mengusir penjajah colonial yang mengekspolitir kekayaan dan umat kita ratusan tahun, lalu kita masih setia menerapkan dan menjaga sistem penjajah tersebut. Tentu itu tidak masuk akal!

Sekalipun tidak masuk akal, namun suara mereka terdengar nyaring karena didukung oleh media massa milik para kapitalis yang menguasai opini publik, untuk selalu memojokkan syariah dan tokoh-tokoh umat Islam pejuang syariah agar umat Islam tidak bisa melaksanakan kedaulatannya atas negeri mereka sendiri. Mereka selalu menolak syariah dan menganggapnya sebagai penyakit yang berbahaya dan mematikan, sementara mereka memberikan jalan untuk virus-virus pembunuh kehidupan umat seperti aliran sesat, kemaksiatan, sekularisme, pluralism, liberalism, bahkan komunisme gaya baru. Ini tampak pada gerakan politik mereka yang akhir-akhir ini semakin bernafsu menguasai negeri ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka membonsai partai dan gerakan Islam, dan menguasai partai-partai sekuler, baik partai pemerintah maupun partai oposisi, untuk merampas dan menguasai kehendak politik umat. Itu semua adalah mesin pelumpuh dan pembunuh vitalitas umat agar umat ini terus bisa dijajah bahkan dimusnahkan.  Padahal Allah berfirman:

وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا

“Dan sekali-kali Allah tidak memberikan jalan kepada orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin”
(QS. An Nisa 141).

Oleh karena itu, di hari yang fitri ini, saatnya kita membebaskan bangsa ini secara hakiki dari belenggu-belenggu penjajahan yang masih tersisa. Sehingga NKRI menjadi Negara yang merdeka secara hakiki, tidak menjadi underbouw  negara lain. Itulah NKRI bersyariah, yakni NKRI yang dipimpin oleh seorang presiden yang ahli dalam pengetahuan syariah dalam bernegara, sebut saja Presiden Syariah, yang akan menjalankan syariah secara formal konstitusional untuk menjamin kehidupan seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, yang muslim maupun non muslim, sebagai warga Negara yang sah.  NKRI yang mendapatkan berkah dari langit dan bumi karena ketaatannya kepada syariah Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa. Dia SWT berfirman:

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf 96).

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah  


Menurut ahli siyasah syar’iyyah Imam Al Mawardi dalam Al Ahkam As-Sulthaniyyah, fungsi negara adalah menjaga agama (hirosatut diin) dan mengurus urusan keduniaan umat
(siyasatut dunya).
Bila rezim syariah naik ke pentas politik Indonesia dengan izin Allah, maka Program Presiden Syariah adalah memantapkan NKRI sebagai Negara yang melaksanakan syariah secara formal konstitusional. Artinya seluruh lembaga Negara secara sinergis bekerja menjalankan syariah sebagai hukum formal untuk memutuskan segala perkara dan menyelesaikan problem-problem di lapangan.  

Maka program Presiden syariah bilamana terpilih secara definitive, adalah : 
1. Mendekritkan berlakunya kembali syariat Islam secara formal konstitusional di seluruh Nusantara sebagai wilayah NKRI. Hal-hal mengenai penyesuaian peraturan perundangan yang ada dengan syariah dilakukan dengan cara yang seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
2. Menjaga keutuhan syariah agar berlaku secara menyeluruh dalam seluruh aspek kehidupan, baik syariah dalam bidang ideologi, politik pemerintahan, ekonomi, sosial budaya, hukum peradilan, pertahanan, dan keamanan. Artinya segala peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan syariah diamandemen secepatnya.
3. Menjaga aqidah dan pemikiran umat sehingga mereka tetap setia menjaga keunggulan pemikiran Islam sebagai shibghah di masyarakat  dan akan menjadi perasaan dan nafas kehidupan masyarakat. 
4. Menjaga pemenuhan kebutuhan rakyat atas sandang, pangan, dan papan dengan membuka lapangan kerja seluas-luasanya sesuai ketentuan ekonomi syariah.
5. Memastikan terpenuhinya kebutuhan kolektif rakyat atas pendidikan. Kesehatan. dan keamanan secara gratis sebagai tanggung jawab kepala Negara. 

Rasulullah saw. bersabda:

فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“Amir yang memimpin manusia adalah laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya” (HR. Muslim, Syarah An Nawawy juz 12/213).

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah,


Bagaimana strategi mewujudkan Presiden Syariah yang mendapatkan kepercayaan rakyat Indonesia yang meyoritas muslim untuk memimpin NKRI berSyariah?  Insya Allah bisa ditempuh strategi sebagai berikut:

1. Membangun kesadaran umat dan bangsa Indonesia tentang: (1) kebobrokan sistem sekuler yang berbahaya bagi rakyat, (2) perlunya solusi Islami mengatasi seluruh problematika yang ada, dan (3) adanya Presiden Syariah sebagai eksekutif yang punya otoritas melaksanakan syariah sebagai hukum Negara untuk menyelesaikan segala problematika.
2. Membentuk Gerakan Relawan Capres Syariah (RCS) untuk melakukan ketiga proses penyadaran  dalam poin 1 secara massif dan untuk melakukan pertarungan pemikiran antara haq dan batil melawan kaum islamophobia.
3. Melakukan konsolidasi umat dalam bidang pemikiran, perasaan, loyalitas, dan gerakan sehingga terbentuk basis-basis pemikiran dan perjuangan umat.
4. Melakukan pertarungan politik dengan melakukan kritik terhadap kebijakan pemerintah atau ide-ide politik partai sekuler yang bertentangan dengan Islam dan atau tidak berpihak kepada kemaslahatan umum rakyat serta memberikan alternative solusinya.
5. Serah terima kekuasaan dari rezim sekuler kepada rezim syariah baik melalui pemilu maupun aktivitas ekstra parlementer.

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah

 
Akibat politik penjajahan dan politik rezim-rezim sekuler pasca penjajahan yang selalu menyudutkan Islam Politik dan para tokohnya, selalu ada pertanyaan umat, siapa tokoh umat yang sanggup menjadi presiden NKRI? Siapa? Ini adalah sekedar perasaan minder dari umat dan bangsa yang  telah sekian lama kalah. Padahal Allah SWT telah menakdirkan umat Islam sebagai umat terbaik (QS. Ali Imran 110), adil dan pilihan (QS. Al Baqarah 143). Bahkan Allah SWT melarang umat ini punya sifat minder dalam firman-Nya:

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ


Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Ali Imran 139).

Oleh karena itu, selama umat Islam beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, beriman kepada Al Quran dan Sunah Rasul-Nya serta syariah yang terkandung di dalamnya, maka umat ini adalah umat yang unggul. Maka sudah saatnya para tokoh umat Islam seperti Prof. Dr. Din Syamsuddin,  KH. Hasyim Muzadi, KH. Ma’ruf Amin, KH. Abu Bakar Ba’asyir, dan tokoh-tokoh pejuang syariah lainnya seperti Habib Rizieq Syuihab, Abu Jibriel, Dr. Hidayat Nurwahid, Dr. Fuad Amsyari, Munarman, SH., Dr. Joserizal Jurnalis, Dr. MS Kaban, Ir. Ismail Yusanto, Lukman Hakim Saifuddin, dan lain-lain diusung oleh umat Islam untuk menduduki jabatan Presiden dan jabatan pemerintahan lainnya dalam Kabinet NKRI Bersyariah.

Allahu Akbar 3x Walilahil hamd,
Kaum muslimin rahimakumullah  


Maka marilah di dalam suasana Iedul Fitri ini kita munajat kepada Allah SWT memohon kekuatan dan pertolongan-Nya untuk menyelamatkan rakyat dan bangsa Indonesia dari kehancuran politik, kehancuran ekonomi, kehancuran moral dan budaya, maupun kehancuran kehidupan umat lainnya, dengan segera menaikkan rezim syariah menggantikan rezim sekuler korup yang ada.  Allah SWT berfirman:

وعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ …


Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka… (QS. An Nuur 55).
Dan perjuangan ini harus terus dijalankan hingga Allah SWT betul-betul mewujudkan janji-Nya dan memberikan pertolongan kepada umat ini dalam mewujudkan NKRI bersyariah. Allah SWT berfirman: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
(QS. Muhammad 7).

Akhirnya marilah kita tundukkan diri kita dan angkat tangan kita, memohon kepada Allah SWT Rabbul Izzah, agar kita semua umat Islam diberikan kekuatan dalam berbagai bidang dan diberikan jiwa ikhlas dan istiqomah serta kesabaran dalam berjuang menolong agama-Nya dan menyelamatkan umat Islam dari kehinaan dunia dan adzab di akhirat, dengan menghadirkan kesatuan para pejuang syariah untuk mendapatkan kepercayaan umat memimpin Negara ini, melakukan perubahan dari NKRI yang hari ini penuh maksiat, menjadi NKRI yang taat, NKRI bersyariah, sehingga terwujud kehidupan Islam yang kaffah dengan kepemimpinan seorang presiden yang mewujudkan eksistensi Amirul Mukminin yang menerapkan syariah secara kaffah.

اللهم إنا نستعينك و نستهديك و نستغفرك و نتوب إليك و نؤمن بك و نتوكل عليك و نثني عليك الخير كله .نشكرك و لا نكفرك . ونخلع و نترك من يفجرك .اللهم أياك نعبد و لك نصلي و نسجد .و إليك نسعى و نحفد و نرجورحمتك و نخاف عذابك الجد بالكفار ملحق
اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِير.
اللَّهُمَّ يامالك يوم الدين إياك نعبد وإياك نستعين.
اللَّهُمَّ اجعل بلدنا إندونيسيا بلدة طيبة مباركة بتطبيق الشريعة من قبل الدولة و اجعل لنا أميرا
راشدا كمثل عمر بن الخطاب وأصحابه من الخلفاء الراشدين المهديين أصبح رئيس دولتنا هذه  الذي تعز به الإسلام وأهله وتذل به الكفر وأهله و الذي يطبق شريعتك العظمى برحمتك ياأرحم الراحمين. سبحان ربك رب العزة عمايصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

أخوكم محمد الخطاط
الأمين العام للمنتدى للأمة الإسلامية جاكرتا - إندونيسيا

Rabu, 22 Agustus 2012

Indonesia Bukan Negara Islam, Pemerintah Bukan Ulil Amri

Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, MA
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Berawal dari Sidang Itsbat penentuan Hari Raya Idul Fitri 1432 H/2011 lalu yang digelar Kementerian Agama di Jakarta. Waktu itu wakil Muhammadiyah, Dr. Abdul Fatah Wibisono, MA., benar-benar “dihabisi” peserta Sidang Itsbat dari salah satu ormas Islam. Bahkan salah seorang ahli Astronomi dari Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) yang sengaja didatangkan Kemenag, Prof Dr Thomas Jamaluddin, menyerang habis-habisan pendirian Muhammadiyah yang tetap mempertahankan metode hisab dengan kata kata “jumud, ketinggalan jaman, keras kepala” dan seabrek kata-kata kasar lainnya. Padahal Muhammadiyah adalah ormas Islam modern terbesar di Indonesia  yang berusia lebih dari 100 tahun dengan jumlah umat mencapai 30 juta orang lebih dengan mayoritas cendekiawan terkemuka di negeri ini.

Meski Muhammadiyah yang sudah legowo menerima perbedaan kemudian meminta izin bagi hari libur nasional untuk tanggal 30 Agustus 2011. Tapi Pemerintah tak mengabulkannya, karena Idul Fitri versi pemerintah jatuh pada 31 Agustus 2011. Inilah yang kemudian disesalkan Muhammadiyah. Sehingga, Muhammadiyah akhirnya mengeluarkan pernyataan resmi seputar Sidang Itsbat melalui surat tertanggal 19 Oktober 2011 yang ditandatangani Ketua Umum Prof Dr Din Syamsuddin, MA dan Sekretaris Umum Dr Abdul Mu’ti yang ditujukan langsung kepada Menteri Agama Republik Indonesia. Dalam surat itu, ada beberapa pokok poin penting yang disampaikan Muhammadiyah terkait permasalahan yang keluar akibat perbedaan keputusan dalam Sidang Itsbat tahun 2011 tersebut.

Pertama, Muhammadiyah memandang bahwa pelaksanaan Sidang Itsbat yang sengaja diselenggarakan secara terbuka dan disiarkan langsung oleh stasiun televisi itu sudah mengarah kepada penghakiman terhadap kelompok yang berbeda dengan keputusan mayoritas atau Pemerintah, termasuk Muhammadiyah.

Muhammadiyah merasa ada intimidasi dan penghakiman oleh beberapa peserta sidang Itsbat. Intimidasi dilakukan terhadap pendirian Muhammadiyah yang  menggunakan “wujudul hilal” dalam penentuan jatuhnya awal bulan dan penetapan hari raya.

Kedua, Sidang Itsbat sudah tidak lagi membawa semangat persatuan sebagaimana  tujuan awal pembentukannya. Sistem atau dasar ketetapan Sidang Itsbat  cenderung memihak kelompok tertentu, sehingga praktis kelompok lain yang  berbeda disalahkan dan tidak diakomodasi dengan baik. Sidang Itsbat tidak lagi  menghargai pluralitas keberagaman yang menjadi semangat dan identitas Indonesia.

Ketiga, dampak yang paling disesalkan Muhammadiyah adalah adanya anggapan  bahwa Muhammadiyah dan kelompok lain yang berbeda telah membangkang terhadap negara. Bagi Muhammadiyah, anggapan tersebut menggiring kepada kebencian dan merusak semangat Pancasila yang menghormati keberagaman.

Keempat,
berdasarkan berbagai masalah dalam pelaksanaan Sidang Itsbat yang meresahkan dan menimbulkan perpecahan serta kebencian, Muhammadiyah  akhirnya meminta Menteri Agama meniadakan Sidang Itsbat. Muhammadiyah  memandang penetapan hari raya masuk ranah keimanan dan ibadah, dan bukan  urusan politik dan muammalah, apalagi kebijakan politik yang membelenggu  sikap dan sifat keagamaan.

Karena tidak ditanggapi pemerintah melalui Kementerian Agama, akhirnya Muhammadiyah memutuskan tidak lagi mengikuti Sidang Itsbat yang biasa digelar Kementerian Agama untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri 1433 H. Muhammadiyah menilai, dalam Sidang Itsbat selama ini Muhammadiyah hanya menjadi pendengar. Sidang Itsbat pun akhirnya kerap bertentangan dengan asas demokrasi yang dianut bangsa Indonesia. Sebab, menurut Muhammadiyah, di dalamnya tidak ada diskusi dan tukar pikiran. Keputusan hanya berpihak pada golongan yang kuat.

Berikut ini wawancara reporter Suara Islam, Abdul Halim, dengan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, MA., seputar penolakannya terhadap Sidang Itsbat dan pendapatnya  mengenai pemerintah bukanlah ulil amri.

Mengapa Muhammadiyah tidak ikut sidang itsbat penentuan awal Ramadhan lalu ?


Kami tidak ikut sidang itsbat. Karena biasanya tidak ada musyawarah dan tidak ada diskusi. Sidang itsbat lebih banyak berisi  pikiran-pikiran subyektif pemerintah. Padahal seharusnya pemerintah mengayomi seluruh umatnya yang berbeda pendapat. Sejak tahun lalu Muhammadiyah sudah mengirim surat tidak akan ikut siding itsbat. Seharusnya pemerintah tidak perlu melakukan itsbat, karena bulan belum dua derajat. Padahal, kan dia (pemerintah) patok minimal dua derajat.

Mengapa jauh-jauh hari Muhammadiyah sudah menetapkan awal Ramadhan 1433 H jatuh pada 20 Juli 2012 ?


Muhammadiyah tak begitu saja menetapkan hari pertama puasa tanpa perhitungan yang jelas. Muhammadiyah tidak bisa menetapkan kapan 1 Ramadhan, kapan 1 Syawal, bahkan sampai 100 tahun yang akan datang. Karena ilmu Falak, ilmu Astronomi itu ilmu pasti. Al Quran menyuruh kita untuk pandai berhitung.

Apakah memang penentuan 1 Ramadhan, 1 Syawal dan 10 Zulhijjah tidak bisa diintervensi pemerintah ? 


Muhammadiyah merasa tidak perlu menghadiri sidang itsbat karena alasan tadi, sebab ini wilayah keyakinan yang tidak boleh diintervensi. Jadi untuk tahun-tahun yang akan datang Muhammadiyah juga tidak boleh diintervensi. Sidang itsbat yang digelar pemerintah hanya terkesan basa-basi. Sebab pemerintah tidak mengakomodir aspirasi-aspirasi yang ada. Apalagi selama ini sidang itsbat itu sidang basa-basi, yang sudah ada keputusannya dan tidak mendengar aspirasi yang sudah ada. Jadi hanya menentukan secara sepihak. Oleh karena itu tidak ada gunanya. Itu sikap Muhammadiyah, mohon juga dihargai.

Saya kira dua pendapat itu tidak bisa dipertemukan yakni menyakini sesuatu dalam melihatnya atau meyakini sesuatu dengan mengetahuinya. Muhammadiyah memakai yang terakhir yaitu meyakini sesuatu dengan mengetahuinya. Meyakini hilal itu sudah dengan mengetahui berdasarkan data-data ilmiah, sedangkan yang satu harus melihatnya. Nah masalahnya kalau tidak kelihatan itu harus menunda 1 hari, jadi biarkanlah menjadi keyakinan, toh kita menetapkan ini keyakinan dan niat untuk beribadah.

Dalam penetapan awal Ramadhan lalu, apakah pemerintah bisa dikatakan sebagai ulil amri sehingga ditaati seluruh keputusannya ?

Masalah penetapan awal bulan Ramadhan lalu yang dilakukan pemerintahan Republik Indonesia bukanlah ulil amri (para pemimpin bagi umat Islam). Pemerintah Republik Indonesia bukanlah negara Islam, sehingga tak pantas jadi ulil amri. Kalau ditarik pemerintah ulil amri yang harus ditaati, mohon maaf kami tidak sependapat. Pemerintah bukanlah ulil amri, ini bukan negara Islam. Pembentukan atau pemilihan keyakinan itu bukan berdasarkan syariat Islam.

Apakah Kemenag juga bisa disebut sebagai ulil amri ?

Apalagi Kemenag, kalau harus dianggap ulil amri kami tidak sependapat. Sebuah pemerintah yang masih berlaku korup yang melakukan korupsi terhadap kitab suci, ini jauh dari kriteria yang ditaati. Alasan ulil amri harus ditaati dalam hal ini (awal Ramadhan) batal demi hukum. Saya kira biarlah umat Islam menjalankan ibadahnya, insya Allah umat Islam cukup dewasa untuk berbeda pendapat.

Bagaimana perbedaan awal Ramadhan tahun ini dan tahun mendatang ?

Kemungkinan adanya perbedaan awal Ramadhan tahun ini dan tahun mendatang tidak perlu dibesar-besarkan. Saya mengharapkan agar masyarakat beribadah dengan keyakinannya masing-masing.Perbedaan mengawali Ramadhan tidak perlu dibesar-besarkan, karena itu wilayah keyakinan, maka gunakanlah ibadat sesuai dengan keyakinan.

Saya mengimbau kepada seluruh umat Islam agar memaknai bulan Ramadhan sebagai bulan latihan, baik untuk penyucian jiwa (tazkiyatun nafs) maupun untuk pengembangan kualitas kejiwaan. Inilah yang paling penting, jadi betul-betul bukan sebagai kerutinan, bukan sebagai kerutinan setiap tahun, tapi betul-betul dijadikan sebagai bulan pelatihan. Muhammadiyah bukan hanya sekarang (menentukan hal yang berbeda), karena wilayah keyakinan bukan wewenang pemerintah dan pemerintah tidak boleh memasuki wilayah keyakinan, melainkan hanya mengayomi.

Rep: Abdul Halim/ Suara Islam

Selasa, 10 Juli 2012

Sebuah Janji untuk Ki Bagus Hadikusumo

Abu Zhilal

Sudah 67 tahun berlalu, apa yang kita namakan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun sejalan dengan proklamasi tersebut, masih juga mengganjal dihati –bagi sebagian umat yang menyadari-sebuah kesepakatan yang tidak tertunaikan. Sebuah perjuangan yang digugurkan sebelum dilahirkan. Gentlemant’s Agreement bernama Piagam Jakarta.

Sebuah kesepakatan yang bernilai harganya bagi umat Islam, karena mengandung pernyataan tertulis sebuah negara untuk menegakkan syariat Islam. Sebuah pernyataan yang sepantasnya juga kita pertanyakan kembali kehadirannya. Karena ternyata dibangunnya sebuah dasar negara bernama Pancasila bukan hadir dengan kata bulat sepakat belaka. Melainkan proses perdebatan panjang yang tak kunjung usai mulai dari sidang BPUPKI, disepakati bersama untuk sementara, dilanjutkan pada sidang konstituante hingga diputus paksa oleh dekrit Presiden Soekarno 1959.

Awal perjalanan panjang, perdebatan penegakkan syariat Islam dalam lingkup resmi itu, diwarnai oleh seorang sosok ulama besar Indonesia, pemimpin Muhammadiyah kala itu, bernama Ki Bagus Hadikusumo. Perannya dalam mewarnai perdebatan dasar negara ini menjadi semakin terang, ketika sejarah mencatat ia adalah salah seorang yang paling teguh, memperjuangkan Islam dalam mengisi bangsa ini. Dan kalimat putus darinya pula, yang menunda sementara perjuangan syariat Islam, dengan dihapuskannya tujuh kalimat yang berarti itu.

Lahir di Yogyakarta tahun 1890, Ki Bagus Hadikoesoemo, lahir dari keluarga Islami. Ayahnya seorang Lurah Kraton bernama Haji Hasjim Ismail. Tinggal di Yogyakarta, disebelah utara pekarangan, dekat rumah KH Ahmad Dahlan. Anak-anak Haji Hasjim Ismail inilah termasuk yang pertama-tama menorehkan namanya, dalam sejarah pergerakan Islam di Indonesia. Anak Haji Hasjim yang kedua bernama bernama Daniyalin, kemudian dikenal sebagai Haji Syuja. Beliaulah yang menjadi ketua pertama Hoofdbestur Muhammadiyah, Bagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Kemudian adiknya bernama Dzajuli, yang kelak kemudian dikenal sebagai Haji Fachrudin. Seorang pemimpin pergerakan Islam, pegiat di surat kabar, pemimpin kaum buruh, yang kemudian terjun pula menjadi tokoh Sarekat Islam.

Dan adik Haji Fachrodin, bernama Hidayat, kelak dikenal sebagai pemimpin Muhammadiyah, bernama Ki Bagus Hadikusumo.[1] Nama Ki Bagus Hadikusumo bukan baru muncul, namun telah lama terjun ke dalam bidang dakwah Islam dan memegang beberapa jabatan penting.[2] Peran pentingnya pula yang kelak membawanya ke Sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sebuah Badan yang dibentuk untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia termasuk pula menentukan dasar negaranya.

BPUPKI bersidang mulai 28 Mei 1945. Namun yang tercatat paling menentukan dan mengesankan adalah persidangan mengenai dasar negara. Persidangan mengenai dasar negara ini membentuk dua kubu yang saling berseberangan paham dan pemikirannya, yaitu nasionalis sekular dan nasionalis Islami. Hal ini tercermin dari pidato Supomo, “Memang disini terlihat ada dua faham, ialah: paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan Negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam.”[3]

Di dalam Naskah persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Jilid 1 yang disusun oleh Muhammad Yamin, dicantumkan tiga pidato terpenting yang mewakili nasionalis sekular, yaitu pidato M. Yamin sendiri, Supomo, dan Soekarno. Kelak, pidato 1 Juni 1945, oleh Soekarno ini, yang disebut sebagai lahirnya Pancasila. Namun yang mengherankan dalam buku ini,  tidak ada satupun pidato dari para anggota nasionalis Islami.[4] Hal ini menjadi pertanyaan yang tak terjawab hingga detik ini. Ke mana rimbanya naskah pidato dari pihak Islam ini? Padahal Ki Bagus Hadikusumo termasuk salah satu tokoh nasionalis Islami yang berpidato saat itu, mengenai dasar negara. Pidato Ki Bagus Hadikusumo disimpan oleh anaknya, Djarnawi Hadikusumo, kemudian dibukukan dengan judul Islam Sebagai Dasar Negara.[5] Sebuah judul yang sama, kelak dibacakan oleh Muhammad Natsir dalam sidang konstituante 12 tahun kemudian. [6]

Ki Bagus Hadikusumo menekankan dalam bagian awal pidatonya, bahwa manusia itu hidup bermasyarakat. TIdak bisa hidup, jika tidak menerima pertolongan orang lain. Dan Allah mengirimkan para Nabi agar memimpin masyarakat. Menurut Ki Bagus Hadikusumo, wakil rakyat dalam bermusyawarah, harus dapat berlaku sebagai waris para Nabi dan segala perbuatan harus berdasarkan keikhlasan, suci dari sifat tamak dan mementingkan diri dan golongan sendiri.

Begitu pentingnya sidang BPUPKI karena menentukan dasar negara, sehingga ditengah pidatonya, Ki Bagus Hadikusumo mendoakan para peserta sidang, “Ya Allah berikan kami petunjuk ke jalan yang benar, yaitu jalan yang telah engkau beri nikmat dan bukan jalan orang-orang yang engkau murkai, bukan pula jalan orang-orang yang sesat.”

Menurut beliau dalam membentuk negara harus mengikuti cara Nabi dan belajar dari sejarah. Mengetahui penyebab ‘kekusutan’ (begitulah istilah beliau menggambarkan kekacauan) bisa terjadi dan harus dicari penyebabnya. Menurutnya, penyebab kekusutan tadi timbul dari jiwa yang kusut, didorong oleh hawa nafsu jahat dalam dada manusia. Maka menurut beliau, akhlak tiap orang harus dibenahi dan mendapat ajaran-ajaran Islam.

Beliau kemudian melanjutkan, “Bagaimanakah dan dengan pedoman apakah para Nabi itu mengajar dan memimpin umatnya dalam menyusun negara dan masyakarat yang baik? Baiklah saya terangkan dengan tegas dan jelas, ialah dengan bersendi ajaran agama.”

Beliau menerangkan, Islam mengajarkan empat perkara, yaitu Iman, ibadah kepada Allah, amal sholeh dan berjihad di Jalan Allah. Menurutnya jika keempat ajaran ini dimiliki oleh rakyat, maka akan “...alangkah sentausanya, bahagianya, makmur, dan sejahteranya negara kita ini.”

Ki Bagus kemudian menyambungnya, dengan meminta, “…bangunkanlah negara diatas ajaran Islam.” Sebagai dasar, beliau mengutip surar Ali Imron ayat 103 dan Al Maidah ayat 3. Menurutnya, agama seharusnya menjadi tali pengikat yang kuat, bukan malah menjadi pangkal percekcokan dan takut untuk dibicarakan. “Agama adalah pangkal persatuan, janganlah takut di mana pun mengemukakan dan mengetengahkan agama.”

Ia menyindir orang yang takut sekali dan berhati-hati jika hendak membentangkan dan mengetengahkan agama, karena takut terjadi perselisihan. Ia menegaskan, padahal bukan perkara agama saja, yang jika dibicarakan dengan tidak jujur, suci dan ikhlas, akan menimbulkan akibat demikian. Republik, monarki, sarekat atau kesatuan pun dapat menyebabkan hal itu. Menurutnya, semua ini terjadi sebagai akibat dari politik penjajahan yang memecah belah.

Ki Bagus Hadikusumo kemudian mengetengahkan berbagai persoalan negara, yang diberikan solusinya oleh Islam. Dalam hal ekonomi, beliau mengutip surat An-Nahl ayat 14. Kemudian dibidang pertahanan diterangkannya Surat Al Anfal ayat 62, Shof ayat 2-4 dan ayat 10-13. Menurutnya ayat-ayat ‘pertahanan’ tersebut menyuruh umat untuk mencurahkan segala kekuatan perang untuk menggentarkan musuh. Maka diulanginya lagi, “Oleh karena itu bangunlah negara kita ini dengan bersendi agama Islam yang mengandung hikmah dan kebenaran.”

Ki Bagus Hadikusumo juga menyoroti soal pemerintahan yang adil dan kebebasan beragama. Pemerintahan yang adil dan bijaksana berdasarkan budi pekerti yang luhur dan bersendikan permusyawaratan, tidak akan memaksa tentang agama. Ia mendasarkan pada surat An Nisa ayat 5, Ali Imron ayat 159, dan Al-Baqarah ayat 256.

Paparan berikutnya beliau menjawab kekhawatiran seorang yang berpidato sebelumnya. Orang tersebut tidak setuju kalau negara berdasar agama, sebab peraturan agama tidak cukup untuk mengatur negara. Dan menurutnya agama itu tinggi dan suci, jadi janganlah agama dicampurkan dengan urusan negara. Ki Bagus mementahkan pendapat ini. Menurutnya, agama (Islam) telah meresap dan melekat dalam hati pemeluknya. Agama dapat menjadi dasar negara, karena Al Quran yang berisi lebih dari 6000 ayat itu hanya 600 ayat saja yang berbicara mengenai ibadah dan akhirat. Selebihnya mengenai tata negara dan keduniaan. Menurutnya cita-cita umat Islam sejak dahulu, sekarang, hingga yang akan datang, yaitu “…dimana ada kemungkinan dan kesempatan, pastilah umat Islam akan membangunkan negara dan menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan Agama Islam.“

Kemudian beliau menambahkan, yang demikian ini memang kewajiban umat Islam tehadap agamanya. Dan apabila tidak berbuat demikian berdosalah dia kepada Allah.

Ki Bagus mengkahwatirkan kaum imperialis yang selalu berusaha melenyapkan agama Islam atau memakainya sebagai alat untuk memecah belah. Menurutnya Negara Islam tidak akan melarang warganya untuk memeluk agama lain dan beribadah menurut kepercayannya. Karena memang begitulah tuntunan Islam. Ia meminta hadirin untuk melihat sejarah Nabi Muhammad SAW dan Khulafaurasyidin yang memimpin umatnya dengn petunjuk Al Quran dan hukum Islam. Di situlah terdapat teladan yang baik untuk membangun negara. Beliau kemudian bertanya kepada hadirin, kenapa hukum Islam tidak diterapkan pada masa lalu di Indonesia? Pemerintah Hindia Belanda-lah yang selalu menghalangi. Beliau mencontohkan upaya pemerintah kolonial untuk mengganti hukum agama dengan hukum adat. [7] Walau mendapat tentangan hebat, mereka tetap berusaha memaksakannya.
Diakhir pidatonya, ia menukaskan, bahwa, “Agama Islam membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. Jadikan Islam sebagai asas dan sendi negara!” Menurutnya umat Islam yang 90% di Indonesia ini beriman dengan bersandar kepada Al Quran,  dengan penuh ilmu dan kebijaksanaan, bukan dongengan atau tahayul belaka. Umat Islam sholat lima kali sehari, berpuasa, berzakat, dan walaupun masih lemah ekonominya, tetapi mampu mendirikan beribu-ribu pondok, langgar dan masjid. Dan di masa itu sudah didirkan sekolah-sekolah serta rumah sakit oleh umat Islam. Semua itu menunjukkan bahwa umat Islam, “ karena pengaruh imannya,. Benar-benar mempunyai hidup yang bersemangat, yang pada tiap saat dapat dengan amat mudah dapat dibangkitkan serentak, dengan mengeluarkan api yang berkobar-kobar untuk berjuang mati-matian membela agamanya, serta mempertahankan tanah air dan bangsanya.”

Beliau kemudian memberikan contoh seperti Teuku Umar, Imam Bonjol, Dipnegoro, hingga Sarekat Islam, yang mendapat sambutan rakyat yang begitu besar. Hingga menyatukan Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Semua itu karena pengaruh agama Islam. Ia lalu mempertanyakan, jika ada yang berkata agama itu tinggi dan suci, dan tidak pantas diterapkan untuk mengurus negara, maka apakah mereka mau bernegara diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci?
Diakhir pidatonya Ki Bagus Hadikusumo menutup dengan kalimat, “Mudah-mudahan Negara Indonesia baru yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara yang tegak dan teguh, serta kuat dan kokoh. Amien!”[8]

Kelak memang terbukti dalam sidang BPUPKI perdebatan mengenai dasar negara ini berlangsung sengit. Sehingga diputuskan untuk membuat panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan. Ki Bagus Hadikusumo memang tidak termasuk dalam panitia ini. Maka ketika piagam Jakarta telah disetujui oleh panitia sembilan, dan dibawa ke sidang BPUPKI, Ki Bagus Hadikusumo mempertanyakan maksud dasar negara yang kompromistis itu, dan mencantumkan kalimat, “Negara…berdasarkan ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ia sependapat dengan Kiai Ahmad Sanusi, agar dihilangkan kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya.” Namun usul ini ditolak Soekarno karena anak kalimat Piagam Jakarta tersebut merupakan hasil kompromi dua golongan (Islam dan Sekular).

Persidangan kemudian berlanjut dengan topik-topik lain, namun tiba-tiba Ki Bagus Hadikusumo mengulangi ketidaksetujuannya tentang anak kalimat tersebut. Ki Bagus Hadikusumo dan Soekarno saling memegang teguh pendirian masing-masing. Ketika Ketua Badan Penyelidik, Radjiman Wedyodiningrat, bertanya untuk mengadakan pemungutan suara, Abikoesno Tjorkosoeyoso, salah seorang anggota Panitia Sembian dari pihak Islam, menegaskan kembali bahwa Piagam Jakarta tersebut adalah hasil kompromi dua golongan. Menurutnya kalangan Islam pasti sependapat dengan Ki Bagus Hadikusumo, namun ini adalah sebuah kompromi.

“Kalau tiap-tiap dari kita harus, misalnya…dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan, sebagaimana harapan Tuan Hadikusumo. Tetapi kita sudah melakukan kompromi, sudah melakukan perdamaian dan dengan tegas oleh paduka tuan ketua Panitia sudah dinyatakan, bahwa kita harus memberi dan mendapat.” Setelah mendapat penjelasan itu Ki Bagus Hadikusumo akhirnya menerima kesepakatan tersebut. [9]

Hari berikutnya perdebatan bergeser mengenai agama bagi Presiden Republik Indonesia. Sebagian pendapat menyatakan bahwa agama presiden harus Islam, karena ada kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti yang diusulkan Pratalykrama dan KH Masjkur. [10] Sedangkan pihak yang menolak, seperti Supomo mengingatkan bahwa 95% penduduk Indonesia beragama Islam, maka hal itu menjadi jaminan bahwa presiden yang terpilih pasti beragama Islam. Namun betapa sengitnya perbedaan, diantara anggota sidang sepakat bahwa tugas untuk melaksanakan syariat Islam, diemban oleh pemerintah.[11]

Soekarno dalam perdebatan itu sependapat dengan Supomo dengan alasan yang sama. Ia juga mengingatkan agama presiden tidak perlu disebutkan dalam rancangan undang-undang dasar itu, karena menghindari pertentangan. Namun hal ini membuat kesal A. Kahar Muzakkir, salah seorang tokoh Islam dalam Panitia Sembilan, ketika menyadari usul pihak Islam tidak diindahkan oleh Soekarno. Sambil memukul meja, ia meminta, “Supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-Undang Dasar itu yang menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu.” [12]

Sidang kembali menemui jalan buntu. oleh karena itu, ketua sidang, mengusulkan pemungutan suara. Namun usul ini ditolak oleh Kiai Sanusi yang menganggap urusan agama tidak dapat begitu saja diputuskan oleh suara terbanyak. Dia meminta agar sidang memilih saja usul Kiai Masjkur atau usul Muzakkir.  Soekarno lantas menolak usul Muzakkir. Muzakkir kembali meminta agar sidang memperhatikan usulnya. Saat itulah Ki Bagus Hadikusumo membela tampil mendukung Muzakkir, dan berkata, “Saya berlindung kepada Allah terhadap syetan yang merusak. Tuan-tuan, dengan pendek sudah kerapkali diterangkan disini, bahwa Islam itu mengandung ideologie negara. Maka tidak bisa negara dipisahkan dari Islam… Jadi saya menyetujui usul Tuan Abdul Kahar Muzakkir tadi; kalau ideologie Islam tidak diterima, tidak diterima! Jadi nyata negara ini tidak berdiri diatas agama Islam atau negara akan netral. Itu terang-terangan saja, jangan diambil sedikit kompromis seperti Tuan Soekarno katakan ”[13]

 Di sini terlihat kegigihan Ki Bagus Hadikusumo untuk mempertahankan Islam sebagai dasar negara. Sidang ditutup tanpa keputusan apapun. Namun keesokan harinya dicapai kata mufakat dengan mencantumkan agama Presiden. Dan hari itu pula Undang-undang dasar dengan Piagam Jakarta-nya disepakati.

Apa yang terjadi selanjutnya, sejarah berbelok arah dengan sangat tajam. Piagam Jakarta dengan kalimat, “…kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dihapus, dan diganti berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. Begitu pula pasal 6 ayat 1 yang menyatakan Presiden beragama Islam dicoret.[14] Kontroversi perubahan ini sudah menjadi polemik yang tak kunjung jelas hingga saat ini sehingga dapat dikatakan sebuah ‘historische vraag (Pertanyaan sejarah).’ [15]

Pernyataan Muhammad Hatta yang menjadi pendorong dihapuskannya piagam Jakarta tersebut masih diliputi awan gelap. Ia mengaku khawatir Indonesia akan terpecah belah jika kalimat tersebut dipertahankan. Sebab petang sebelumnya, ia mengaku didatangi opsir Kaigun, yang menyatakan wakil Protestan dan Katolik menyatakan keberatannya.[16] Namun yang menjadi soal hingga saat ini, sebuah persoalan besar menyangkut dasar negara, digoyangkan oleh orang asing, dan terlebih, Hatta mengaku tidak ingat siapa opsir tersebut. Hal yang sungguh mengherankan, mengingat maha berat dan pentingnya persoalan ini, namun Hatta tak mampu mengingat namanya.

Apa yang terjadi selanjutnya berdasarkan pengakuan Bung Hatta, keesokan harinya ia mengajak Ki Bagus Hadikusumo, KH Wahid Hasjim, Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan (Aceh) untuk membicarakan masalah itu. Hatta kemudian melanjutkan, “….Supaya jangan pecah bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.”[17]

Hal ini menjadi krusial dan patut menyita perhatian. Dari keempat orang yang diajak berembuk itu, nama Kasman Singodimedjo, bisa dibilang sebagai pihak yang terjebak dalam hal ini, karena ia tak terlibat mendalam dengan urusan ini.[18] Ia sendiri mengakui dan menyesalkan bahwa ia sebagai orang militer harusnya tidak ikut berpolitik. Ketika dilakukan lobbiying soal perdebatan itu, ia mengaku sebenarnya ingin mempertahankan Piagam Jakarta tersebut, namun ia terdesak pula, bahwa Indonesia harus menyusun undang-undangnya, diantara jepitan Jepang dan Belanda.  Sementara ada keberatan dari pihak Kristen. Ia pun mengakui termakan janji Soekarno, bahwa nanti enam bulan lagi, wakil-wakil bangsa Indonesia berkumpul dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang sesempurna-sempurnanya.[19] Memang saat akhir sidang BPUPKI, Soekarno menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar yang di buat ini, adalah Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, Revolutie grondwet.

“Nanti kalau kita telah bernegra di dalam suasana yang lebih tentram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” jelas Soekarno.[20]
Kasman menjelaskan bahwa, Soekarno saat lobbiying penghapusan itu, tidak mau ikut-ikut bahkan menjauhkan diri dari ketegangan itu. Suasana saat itu begitu tegang, dan sengit, karena pihak Islam tidak mau begitu saja menerima perubahan tersebut. Namun akhirnya bisa menerima perubahan tersebut. Meninggalkan beban itu kepda Ki Bagus Hadikusumo, karena ia adalah pihak Islam yang belum bisa menerimanya.

Nama Teuku Mohammad Hasan memegang peran penting dalam perdebatan ini. Beliau bukanlah dari golongan nasionalis Islam. Menurut Kasman Singodimedjo, Soekarno meminta Teuku Hasan untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo, seorang ulama yang paling gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Teuku Hasan mengatakan kepada Ki Bagus Hadikusumo, “…yang kita perlukan kini adalah kemerdekaan. Apabila kita terus mempertahankan kepentingan sepihak, bisa-bisa orang Kristen dapat dipersenjatai oleh Belanda. Padahal kita kan maunya merdeka, bukan berperang.” Teuku Hasan juga menjelaskan bahwa, kita (umat Islam) tidak perlu takut, mengingat jumlah umat Islam 90%.

“Kalau kita banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting merdeka dulu, setelah itu, terserah kita mau dibawa ke mana negara ini,” jelas Teuku Hasan.[21] Namun menurut Kasman Singodimedjo, baik KH Wahid Hasjim atau Teuku Hasan, tak mampu meluluhkan Ki Bagus Hadikusumo.  Bung Hatta pun tak bisa. Akhirnya Kasman mencoba meluluhkan hatinya dengan menggunakan bahasa Jawa yang halus. Ia mengatakan,

“Kiyahi, kemarin proklamasi kemerdekaan telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar, sebagai  dasar negara kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya, untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan.”

Kasman pun mengingatkan janji Soekarno, “…Kiyahi, dalam rancangan Undang-Undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa, 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada lagi waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit!” Akhirnya berangsur Ki bagus Hadikusumo menerima penghapusan tersebut, disaksikan juga oleh KH Wahid Hasjim, Teuku Hasan, Bung Hatta dan Kasman Singodimedjo sendiri.

Sayangnya janji dari Soekarno,tak terpenuhi dalam waktu 6 bulan, atau bahkan 6 tahun. Janji itu baru dibahas kembali 12 tahun kemudian, saat Indonesia menggelar Sidang Konstituante di Bandung, tahun 1957. Salah satun agendanya untuk menetapkan dasar negara. Terjadi persaingan sengit antara Faksi Islam yang mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, dengan faksi lainnya yang mengusulkan Pancasila. [22]

Ketika itu, Ki Bagus Hadikusumo telah wafat. Mr. Kasman Singodimedjo kemudian menagih janji tersebut. Ditengah persidangan, ia berpidato dengan lantangnya, mengingatkan janji tersebut, “…Saudara Ketua, kini juru bicara Isla,m Ki Bagus Hadikusumo itu telah meinggalkan kita untuk selama-lamanya, karena telah pulang ke Rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai wafatnya. Beliau kini tidak dapat lagi ikut serta dalam Dewan Konstituante ini untuk memasukkan materi Islam, ke dalam Undang-Undang Dasar yang kita hadapi sekarang ini.”[23]

Pidatonya semakin menajam tentang janji itu, tatkala ia mengatakan, “…Saudara ketua, secara kategoris saya ingin tanya, saudara Ketua, dimana lagi jika tidak di Dewan Konstituante yang terhormat ini, Saudara Ketua, di manakah kami golongan Islam dapat menuntut penunaian ‘Janji’ tadi itu? Di mana lagi tempatnya?” Sebuah pidato yang bahkan akhirnya tak mampu membuat janji tersebut tertunaikan. Tak mampu mewujudkan cita-cita dan perjuangan Ki Bagus Hadikusumo hingga saat ini.

Catatan Kaki:
1.    Mu’arif, Benteng Muhammadiyah. Sepenggal Riwayat dan Pemikiran Haji Fachrodin (1890-1929), Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2010.
2.    Risalah Sidang BPUPKI – PPKI. 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995.
3.    Ibid
4.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta. Dan Sejarah Konsesnsus Nasional Antara Nasionalis Islami dan Nasionalis “Sekular” Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Putaka-Perpustakaan Salman ITB, Bandung, 1981
5.    Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin, Pustaka Rahaju, Jogjakarta. Tanpa tahun terbit. Namun diperkirakan terbit sebelum pemilu 1955. Karena buku ini persiapkan oleh Djarnawi Hadikusumo, “Risalah ini disumbangkan kepada Umat Islam chususnya, bangsa Indonesia umumnya, dalam membentuk Dewan Perwakilan Rakyat dan Majlis Konstituante dengan Pemilihan Umum y.a.d (yang akan dating-pen).”
6.    Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila Konstituante 1957, Pustaka Panjimas, Jakarta, 2001
7.    Salah satu kebijakan pemerintah  kolonialis Belanda yang mencoba menghilangkan pengaruh Hukum Islam dalam masyarakat dan menggantinya dengan hukum adat.. Lihat, Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia, PT Intermasa, Jakarta, 1986.
8.    Ki Bagus Hadikusuma, Islam Sebagai Dasar Negara dan Achlaq Pemimpin, Pustaka Rahaju, Jogjakarta. Tanpa tahun terbit. Hal 22.
9.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 32.
10.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 34-35.
11.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 35.
12.    Risalah Sidang BPUPKI – PPKI…Hal 347.
13.    Risalah Sidang BPUPKI – PPKI…Hal 351.
14.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 41-43.
15.    Prawoto Mangkusasmito,salah seorang tokoh Masyumi yang juga menulis buku tentang Piagam Jakarta ini mengatakan, “Apa sebab rumus ‘Piagam Jakarta’, yang diperdapay dengan susah payah, dengan memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa kita,kemudian di dalam rapat ‘Panitia Persiapan Kemerdekaan’ pada tanggal 18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa,apa sebabnya?” Seperti dikutip Endang S. Anshari, dari buku Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi, Hudaya, Jakarta, 1970.
16.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 47.
17.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 46.
18.    Kasman Singodimedjo adalah salah seorang yang menjadi 6 orang anggota tambahan. Kasman sendiri sebelumnya adalah ‘orang militer,’ panglima tentara yang paling berkuasa di Jakarta saat itu. Ia pun menyesalkan keterlibatannya dalam persoalan ini. “Memang saya ada bersalah, yakni mengapa saya sebagai militer kok ikut-ikut berpolitik, dengan memenuhi panggilan Bung Karno segala!?” Ia baru mengetahui penunjukkan dirinya hari itu juga (18 Agustus 1945) yang sangat mendadak. Mungkinkah ia sengaja dipersiapkan Soekarno untuk membujuk Ki Bagus Hadikusumo?
19.    Panitia 75 Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang. Kasman Singodimedjo 75 tahun, Bulan Bintang, Jakarta, 1982. Hal 124
20.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta...Hal 43.
21.    Drs Dwi Purwoko, DR. MR. T.H. Moehammad Hasan. Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.
22.    H. Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta.
23.    Panitia 75 Tahun Kasman, Hidup itu Berjuang.